Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat

Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat

 Toleransi beragama yang dikembangkan bukan hanya menghargai teologi dan iman masing-masing agama dan umat beragama, tetapi juga memahami dan menghargai budaya dari umatberagama tersebut. Toleransi beragama mampu memberikan dukungan bagi terbentuknya masyarakat
madani yang diinspirasi oleh nilai-nilai supranatural. Toleransi beragama yang dilakukan dengan
penuh kesadaran akan melahirkan sikap inklusif umat bergama. Ada dua tipe toleransi beragama:
pertama, toleransi beragama pasif, yakni sikap menerima perbedaaan sebagai sesuatu yang bersifat
faktual. Kedua, toleransi beragama aktif, yakni toleransi yang melibatkan diri dengan yang lain di
tengah perbedaan dan keragaman. Sikap ini menganggap agama sendiri benar tetapi masih
memberikan ruang untuk menyatakan kebenaran agama lain yang diyakini benar oleh umatnya. Sikap
inklusif umat beragama akan mampu meruntuhkan sikap ekstrimis dan eksklusif umat beragama, yang
biasanya melahirkan pemahaman fanatik buta dan radikalisme bahkan terorisme yang abadi terhadap
umat berbeda agama.

Toleransi itu cukup mensyaratkan adanya sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang atau
kelompok lain, baik yang berbeda maupun yang sama. Dalam keragaman agama-agama, yang muncul
dalam suatu masyarakat multikultural baik yang memiliki sistem pemerintahan republik atau monarki,
perbedaan sering menjadi pemicu munculnya berbagai hambatan dalam kohesi sosial. Perbedaan
agama tersebut telah meletakkan pemahaman keagamaan dalam kerangka dua kubu umat beragama:
satu, kubu umat beragama tuan rumah; kedua, kubu umat beragama pendatang. Kubu umat beragama
tuan rumah biasanya memiliki kuantiatas umat yang mayoritas, sedangkan kubu umat beragama
pendatang biasanya menduduki posisi minoritas. Kedua kubu ini saling bertubrukan dalam pergaulan
sosial, bila di antara mereka menjadikan perbedaan agama sebagai hambatan dalam mengintegrasikan
nilai-nilai suatu bangsa atau masyarakat. Munculnya kesadaran antar umat beragama yang
diwujudkan dalam toleransi bisa menekan atau meminimalisasi bentrokan di antara mereka.
Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama. Hakekat toleransi adalah hidup
berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keragaman. Praktek toleransi di sebuah
negara sering mengalami pasang surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemaknaan distingtif yang
bertumpu pada relasi “mereka” dan “kita”. Toleransi beragama tidak berarti bahwa seseorang yang
telah mempunyai keyakinan kemudian berpindah atau merubah keyakinannya untuk mengikuti dan
berbaur dengan keyakinan atau peribadatan agama-agama lainnya (sinkretisme); tidak pula
dimaksudkan untuk mengakui kebenaran semua agama/ kepercayaan; melainkan bahwa ia tetap pada
suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya, serta memandang benar keyakinan orang lain, sehingga
dalam dirinya terdapat kebenaran yang diyakininya sendiri menurut suara hatinya sendiri yang tidak
diperoleh atas dasar paksaan orang lain atau diperoleh dari pemberian orang lain.
Masyarakat multikultural terpola oleh keragaman budaya termasuk keragaman agama. Di
dalam perjalanannya, agama-agama yang muncul dalam masyarakat multikultural kemudian dipahami


oleh umatnya. Di antara mereka, ada yang memahaminya secara rasional an sich dan ada pula yang
memahaminya secara irrasional atau mistis. Dampak heterogenitas agama ini bisa menmunculkan
konflik di antara umat berbeda agama.
Toleransi sangat dibutuhkan untuk menciptakn keseimbangan dan kohesi sosial dalam
masyarakat multikutral. Untuk menciptakan sikap toleransi beragama yang proposional dalam
masyarakat multikultural perlu menumbuhkan sikap epoché dalam berteologi. Sikap epoché ini
mutlak diperlukan tanpa kompromi agar mereka bisa menjalankan toleransi beragama dengan baik.
Jika sikap epoché ini tidak dimiliki, maka toleransi terhadap agama orang lain hanya akan sebatas
basa-basi atau, sekalipun toleransi beragama bisa dilakukan, kecenderungan menyampur seluruh
ajaran beragama atau menafikan ajaran agama dan digantikan dengan kepentingan nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat umum dan sekuler akan muncul. Dalam masyarakat multikultural yang
identik dengan masyarakat serba majemuk baik dalam politik, budaya atau bahkan agama, manusia
beragama cenderung mengalami konflik akibat adanya berbagi kepentingan yang dihadapinya.
Kelompok bergama yang secara ekonomi kuat akan mampu mengalahkan kelompok agama yang
lemah secara ekonomi.

Pada sisi lain kelompok yang dianggap lemah dalam bidang perekonomian merasa tersisih
dan terpinggirkan akibat tidak bisa bersaing dengan kelompok bergama yang kuat dari sisi ekonomi.
Kelompok ini dalam menjalankan ekonominya berupaya mengimbangi kelompok kuat, serta
memasukkan nilai-nilai supranatural. Dengan begitu, mereka merasa kuat secara kualitas spiritual
sekalipun dalam skala kuantitas ekonomi kecil. Kenyataan seperti di atas adalah respon yang
mendasar dari kelompok kecil. Respon ini bisa muncul dalam bentuk kelompok fundamentalis.
Kelompok ini bereaksi untuk menjawab kelompok yang kuat dalam sistem perekonomian dengan
menggulirkan berbagai konsep konservatif, ortodoks atau tradisional menuju konsep-konsep
fundamentalis modern. Mereka masuk dalam area masyarakat sipil, dunia permodalan dan
universitasuniversitas. Sekalipun kelompok fundamentalis modern seperti ini secara ekonomi lemah,
namun ia memiliki berbagai strategi kuat dalam media informasi yang menginspirasi berbagai
kecenderungan militansi keagamaannya. Mereka menguasai berbagai jaringan telekomunikasi
canggih dan mampu menyebarkan gagasan ideologisnya untuk menghancurkan kekuatan jumlah
besar. Mereka bekerja untuk agama dan kepentingan politik keagamannya. Dalam masyarakat
multikultural, pengikut atau pemeluk agama memainkan peranan dominan bagi ajaran agama yang
dipeluknya atau bahkan di antara mereka ada sekelompok orang yang acuh terhadap agama yang
mereka peluk. Kenyaataan seperti ini akan mengganggu dan juga sekaligus membantu memahami
keberadaan suatu agama dengan umatnya. Moto agree in disagrement menjadi modal sosial yang kuat
dalam toleransi beragama. Toleransi ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam
bentuk tekanan atau pengaruh serta terhindar dari hipokrisis.
Toleransi mengandung maksud untuk memungkinkan terbentuknya sistem yang menjamin
keamanan pribadi, harta benda dan unsur-unsur minoritas yang terdapat dalam masyarakat. Ini

direalisasikan dengan menghormati agama, moralitas dan lembagalembaga mereka serta menghargai
pendapat orang lain dan perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungannya tanpa harus berselisih
dengan sesamanya hanya karena berbeda keyakinan atau agama. Dalam kaitan dengan agama,
toleransi mencakup masalah-masalah keyakinan pada diri manusia yang berhubungan dengan akidah
atau yang berhubungan dengan ketuhanan yang diyakininya. Seseorang harus diberikan kebebasan
untuk meyakini dan memeluk agama (mempunyai akidah) masing-masing yang dipilihnya serta
memberikan penghormatan atas pelaksanaan ajaran-ajaran yang dianut atau diyakininya.
Ada dua kelompok masyarakat beragama dalam masyarakat multikultural, yaitu masyarakat
beragama educated people dan masyarakat beragama ordiniary people. Kedua masyarakat beragama
ini berbeda dalam memperlakukan agama yang mereka peluk. Bagi masyarakat beragama educated
people, memahami ajaran agama harus mengikutsertakan analisis rasional dan mengesampingkan
pemahaman intuitif dan simbolik. Mereka mudah diajak bertoleransi terhadap agama dan pemeluk
agama lain. Sebaliknya, masyarakat beragama ordiniary people memahami ajaran agama penuh
dengan simbolsimbol dan tidak mempergunakan analisis rasional. Mereka mudah tersulut emosi dan
sangat susah bertoleransi dengan agama dan pemeluk agama lain. Kelompok ini mudah digerakkan
oleh sekelompok orang atau komunitas baik yang beraliansi pada politik maupun pada sosial budaya.
Masyarakat kompleks atau masyarakat multikultural tersusun dari keanekaragaman budaya,
masyarakat dan struktur sosial. Keanekaragaman adalah fakta yang tidak bisa dielakkan dalam
kehidupan kolektif dan tidak bisa diharapkan eksistensinya atau tidak dapat ditekan tanpa tingkat
kekerasan yang bisa diterima. Terlebih lagi sejak manusia terikat dan dibentuk oleh kebudayaan,
penghormatan diri mereka secara erat terikat dengan penghormatan pada kebudayaannya.
Penghormatan pada kebudayaan ini menumbuhkan rasa kesetiaan, memberi rasa percaya diri dan
keberanian untuk berinteraksi dengan kebudayaan lain.

 Nama : Fitri Zahra Andika

NIM : 223140707111089


 

Komentar